Artikel ini adalah kisah teladan dari biografi
singkat Imam An-Nawawi ulama kebanggaan umat, ulama
yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia yang dikutip dari majalah hidayatullah.com
Ulama Berjuluk “Penghidup Agama”
Oleh: Muhammad Luqmanul Hakim
Malam sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi. Namun, ada seorang pemuda yang masih terlihat menikmati bacaannya. Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud.
Malam sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi. Namun, ada seorang pemuda yang masih terlihat menikmati bacaannya. Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud.
Menjelang sholat subuh, ia meraih roti yang ia
simpan dan memakannya sebagai sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta
makan siangnya. Ia sudah terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari
semalam.
Kemudian pada keesokan harinya, ia semakin “gila”
mengejar ilmu. Ia pelajari 12 cabang ilmu pada guru-gurunya. Tak
sedikit-pun waktunya yang tersia-sia. Bahkan ketika berjalan pun ia terus
mengulang-ulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya.
Itulah sosok Imam Nawawi, ulama yang dalam usia
muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Kitab-kitabnya tersebar di
berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian dari kitab-kitab yang ditulisnya masih
menjadi rujukan utama di kalangan para penuntut ilmu hingga saat ini, termasuk
di berbagai pondok pesantren di Indonesia.
Rihlah Ilmiah
Imam Nawawi bernama lengkap Yahya bin Syarf bin
Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi
Ad-Dimasyqiy. Ia disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai
anak yang bernama Zakariya. Karena ia belum sempat menikah dan membujang hingga
akhir hayatnya. Selain itu, orang-orang memberinya gelar "Muhyiddin"
(orang yang menghidupkan agama). Padahal ia tidak menyukai gelar ini. Bahkan
diriwayatkan ia pernah berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang
menggelariku Muhyiddin.” Ucapan itu tidak akan lahir lain kecuali karena sikap
ketawaddu’annya.
Ulama kebanggan umat ini lahir di desa Nawa, dekat
kota Damaskus (yang sekarang menjadi ibu kota Suriah) pada bulan Muharram tahun
631 H (1233 M). Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat namanya, yaitu
an-Nawawi ad-Dimasyqi.
Sejak kecil Imam Nawawi dikenal sebagai anak yang
cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh
teman-teman sebayanya. Namun ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut.
Ia lebih suka menghafalkan Al-Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya.
Maka tidak mengherankan, sebelum baligh ia sudah hafal Al-Quran 30 juz.
Pada tahun 649 H (1251 M), yaitu ketika usianya
mencapai 19 tahun, Imam Nawawi melakukan rihlah ilmiah ke kota damaskus. Di
sana ia “mondok” di lembaga pendidikan al-Ruwahiyyah atas beasiswa dari lembaga
tersebut. Lembaga pendidikan ini dekat dengan masjid termegah pertama di dunia,
yaitu masjid Al-Jami’ Al-Umawy. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu.
Guru dan Muridnya
Imam Nawawi memiliki banyak guru dan murid.
Guru-gurunya merupakan ulama yang ahli di bidangnya. Sedangkan di antara
murid-muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama besar.
Dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, sang Imam
berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi (w. 650 H), Abdurrahman
bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi (w. 654 H), Sallar bin aI-Hasan al-Irbali (w.
670 H), Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’I (w. 672 H), dan
Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari (w. 690 H.)
Sementara dalam bidang ilmu hadits, ia berguru pada
Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari (w. 661 H), Abdul ’Aziz bin Muhammad
bin Abdul Muhsin al-Anshari (w. 662 H), Khalid bin Yusuf an-Nablusi (w. 663 H),
Ibrahim bin ’Isa al-Muradi (w. 668 H), Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi (w.672
H), dan Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi (w. 682 H).
Lalu dalam bidang nahwu dan bahasa, guru-gutrunya
adalah Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri (w. 664 H), dan juga al-’Izz al-Maliki.
Adapun murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama
besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah
al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, , Syamsuddin bin
an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim dan masih
banyak yang lainnya.
Pujian Ulama
Banyak ulama yang memberikan apresiasi tinggi
kepada Imam Nawawi. Adz-Dzahabi, misalnya pernah berkata: "Imam Nawawi
adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan.
Ia merupakan sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara,' memiliki
muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai.
Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti
berpakaian indah, makan minum lezat, dan tampil mentereng. Makanannya
hanyalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya adalah pakaian yang sangat
sederhana, dan alas tidurnya hanyalah kulit yang disamak. Ia selalu berusaha
untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Tidak
jarang ia mengirimi surat para penguasa yang berisi nasihat agar berlaku adil
dalam mengemban amanah kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada
ahlinya.
Adapun Abul Abbas bin Faraj pernah bertutur:
"Syeikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1
tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa
sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua
adalah zuhud. Dan tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam
beramar ma’ruf nahi munkar."
Cinta Ilmu
Kalau berbicara tentang kecintaan terhadap ilmu,
Imam Nawawi adalah sosok yang bisa dijadikan teladan utama. Atas
kecintaannya terhadap ilmu, ia menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi yang
secara umum manusia cenderung kepadanya .
Kenikmatan berupa makanan, misalnya. Ia tak mau
aktifitas makan mengganggu kegiatan belajarnya. Dalam sehari semalam ia tidak
makan kecuali sekali setelah waktu akhir isya' dan tidak minum kecuali sekali
pada waktu sahur.
Ia makan roti yang dibawakan oleh ayahnya dari desa
Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk persediaan selama satu minggu. Ia juga
tidak pernah memakan kecuali satu macam makanan seperti madu, cuka, atau
minyak. Sedangkan daging, Imam Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan
hampir tidak pernah ia memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya.
Baginya, makan tidak lain hanyalah untuk sekedar menjaga kesehatan tubuhnya.
Kenikmatan lain yang ia hindari dan lebih memilih
belajar adalah tidur. Ia tidak pernah menyengaja tidur. Biasanya ia tertidur
ketika sedang membaca buku. Itu pun setelah bangun langsung membaca lagi.
Selain itu, kenikmatan lain yang ia hindari adalah
menikah. Ia sebenarnya bukan tidak mau menikah apalagi menolak syariat nikah.
Bahkan, dalam kitab-kitabnya juga banyak yang menyinggung masalah pernikahan.
Hanya saja, ia tidak sempat memikirkannya karena besarnya rasa cinta terhadap
ilmu. Oleh karena itu, ketika meninggal pada umur 45 tahun ia tetap membujang.
Karya-karyanya
Imam Nawawi merupakan ulama yang dalam usia muda,
yaitu sejak berusia 30, sudah menghasilkan karya besar lintas negara dan lintas
zaman. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian
dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir
seluruh belantara dunia Islam.
Di dalam karya-karyanya didapati kemudahan dalam
mencernanya, keunggulan dalam argumentasinya, kejelasan dalam kerangka
berfikirnya serta keobjektifan dalam memaparkan pendapat-pendapat para fuqaha’.
Di antara karyanya yang berjumlah sekitar 40
tersebut ada yang telah ia selesaikan dan ada pula yang belum terselesaikan. Di
antara yang telah terselesaikan adalah kitab al-Arba’in Nawawi, Syarh Shahih
Muslim, ar-Raudhah (Raudhatut Thalibin), al-Minhaj, Riyadhus Shalihin,
al-Adzkar, at-Tibyan, Tahir Tanbih wa Tashhth, Tahdibul Asma’ wal Lughat, Thabaqatul
Fuqaha’ dan lain-lain.
Adapun yang belum terselesaikan – andaikatan ia
menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh
Muhadzdzab yang bernama al-Majmu’. Ia baru menyelesaikan sampai bab riba
saja. Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab
tersebut, ia mengupas fiqih madzhab Syafi’i dan yang lainnya, menerangkan
hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan perkara-perkara
penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut”.
Demikianlah profil Imam Nawawi, salah satu ulama
kebanggan umat. Ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya
mendunia. Semoga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita. Amin.
Redaksi: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar