BIDADARI-BIDADARI SURGA YANG
DISEGERAKAN
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Selalu wasiatkan kebaikan kepada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari jalinan tulang rusuk ialah tulang rusuk bagian atas. JIKA KALIAN PAKSA DIRI UNTUK MELURUSKANNYA, IA AKAN PATAH. TETAPI JIKA KALIAN MENDIAMKANNYA, IA AKAN TETAP BENGKOK. Karena itu, wasiatkanlah kebaikan kepada para wanita.” (HR. Al-Bukhari)
Wanita adalah
sebuah maha karya Allah. Dibalik kelembutannya ada kekuatan yang dapat
menggerakkan sebuah laju peradaban. Islam dengan segala kemuliaannya telah
berhasil meletakkan dengan ideal posisi kaum wanita dalam gempita kehidupan.
Dan fakta sejarah pun mengungkapnya dengan elok, bahwa DI SETIAP
KEBERHASILAN ORANG-ORANG BESAR SELALU ADA WANITA-WANITA KUAT DI BELAKANGNYA.
Tapi, tidak
semua wanita berkenan menempati posisi-posisi itu. Dengan hadirnya racun-racun
demokrasi, omong kosong HAM atau bualan feminisme, wanita telah kehilangan
karakter-karakter dasar kemanusiaannya. Fungsi-fungsi wanita telah terdistorsi
dari letak fitrahnya.
Namun, di
tengah kerusakan pemahaman yang semakin kuat, ada sebagian wanita yang tetap
menjunjung tinggi martabat mereka. Memelihara nilai-nilai kefitrahan mereka
sebagai seorang hamba. Pengorbanan dan perjuangan telah menjadikan para wanita-wanita
ini bak bidadari-bidadari surga yang Allah segerakan kehadirannya. Inilah
wanita-wanita yang membuat resah para bidadari-bidadari Surga karena
kemuliaannya. Menerbitkan cemburu di ufuk hati para bidadari Surga.
1. Ibu: Oase Cinta Yang Takkan Kering
“Makan malamlah
bersama Ibumu hingga ia senang.
Hal itu lebih
aku senangi daripada haji sunnah yang kamu kerjakan.”
(Al-Hasan bin
Amr Rahimahullahu)
Hijrah bukan
semata keputusan ideologis-teologis, lebih jauh hijrah adalah sebuah keputusan
psikologis, terlebih dalam konteks di saat kita dalam posisi seorang anak. Dan
hal inilah yang dirasakan oleh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam.
Dari Abdullah
bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu seorang lelaki mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku berjanji setia kepadamu wahai Rasulullah
untuk berhijrah. Tetapi aku meninggalkan orang tuaku dalam keadaan terus
menangis.” Ucap lelaki itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjawab, “Pulanglah kepada keduanya. Buatlah keduanya tertawa, sebagaimana kau
telah membuatnya menangis.” (HR. Muslim)
Ibu, adalah
representasi bidadari surga yang paling terang. Hatinya adalah oase
cinta kehidupan yang menyejukkan, airnya bening dan tak pernah menemui
kekeringan. Kasih sayang dan pelukannya adalah hembus angin kedamaian.
Jasa-jasanya takkan pernah dapat terbilang, sekalipun dengan formula-formula
canggih matematika atau fisika modern.
Imam Bukhari
dalam Shahih Al Adabul Mufrad No.9 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘Anhuma, bahwa suatu hari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma melihat
seorang menggendong Ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja sang Ibu
menginginkan. Kemudian orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar,
dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?”, “Belum, setetes
pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu” Jawab Abdullah bin
Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Pada kisah lain
yang diceritakan Abul Faraj Rahimahullahu. Sesungguhnya seorang laki-laki
datang kepada Umar lalu berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai ibu yang sudah tua
renta. Dia tidak menunaikan keperluannya kecuali punggungku yang menjadi
tanggungannya. Apakah aku sudah membuatnya ridha dan bisa berpaling darinya?
Apakah aku sudah menunaikan kewajiban kepadanya?” Umar Radhiyallahu ‘Anhu
menjawab, “Belum”. “Bukankah aku telah membawanya dengan punggungku dan aku
merelakan hal itu untuknya.” tukas lelaki itu.
“Tapi, dia
telah melakukannya dan dia berharap agar engkau hidup dan tetap berada di
pangkuannya. Sebaliknya, engkau melakukannya dan berharap untuk segera berpisah
dengannya,” tegas Umar Radhiyallahu ‘Anhu, sehingga membuat orang itu tak lagi
sanggup mengeluarkan kata-kata.
Sebesar apapun
pengorbanan yang kita berikan pada Ibu, se-zarah pun tak akan dapat
menggantikan pengorbanan yang diberikan ibu kepada kita. Dengan memahami bahwa
bakti dan pengorbanan kita tak akan pernah bisa membalas kebaikan ibu, semoga
bisa menyadarkan kita untuk selalu memahami dan menyelami keinginannya.
Di dunia ini, tak
akan pernah kita temukan cinta kasih seindah cinta kasih seorang Ibu. Tentang
hal ini dengan apik Imam Adz Dzahabi rahimahullahu menguraikan, “Ibumu telah
mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan yang serasa sembilan
tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan
nyawanya.
Dia telah
menyusuimu dengan air susunya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena
menjagamu. Dia bersihkan kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu
atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan
bagimu. Dia telah memberikanmu semua kebaikan, dan apabila kamu sakit atau
mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan kesedihan yang panjang.
Dia keluarkan
harta untuk membayar dokter yang mengobatimu, dan seandainya dipilih antara
hidupmu dan kematiannya, maka ia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara
yang paling keras. Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan
akhlaq yang tidak baik. Dia selalu mendoakanmu agar mendapat petunjuk, baik di
dalam sunyi maupun ditempat terbuka.
Tatkala ibumu
membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang
yang tidak berharga di sisimu. Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau
puas dalam keadaan ia haus. Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan
anakmu dari pada ibumu. Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.
Begitu berat rasanya bagimu memeliharanya, padahal itu urusan yang mudah…”
Ibu,
benar-benar bidadari Surga yang Allah turunkan dengan segera. Maka,
sampaikanlah kepadanya betapa kita mencintainya, dan berterima kasihlah atas
seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya kepada kita. Semoga Allah
mengampuni dosanya, memberkahi usianya, dan mengumpulkan kita kembali dalam
surgaNya.
Ibu, Poros Awal
Peradaban
“Karir terbaik
seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga” (Mario Teguh)
Anak yang
unggul hanya akan lahir dari ibu yang unggul. Maka, sudah semestinya tidak
layak lagi ada pandangan bahwa menjadi Ibu rumah tangga adalah sebuah tindakan
pengekangan bagi para wanita untuk mengembangkan potensi-potensinya. Adalah
para penganut feminisme, menggugat secara serampangan pembagian wilayah
tanggung jawab antara kaum pria dan wanita.
Para feminis
beranggapan wilayah kerja wanita yang lebih cenderung pada ranah private adalah
bentuk ketidakadilan terhadap kaum wanita. Lebih jauh mereka beranggapan
melalui keikutsertaan wanita pada ranah publik dapat meningkatkan kualitas dan
kapasitas kaum wanita. Benarkah demikian?
Saya selalu
ingat apa yang dikatakan ibu saya, “Perempuan bagiannya di rumah, sedang
laki-laki di luar rumah.” Sepintas terdengar sangat diskriminatif. Tapi, makin
lama saya makin paham bahwa inilah yang dimaksud Job Descpription. Layaknya
sebuah organisasi, keluarga pun mutlak memiliki job description.
Dan hal yang
harus kita pahami adalah tidak ada yang menjamin seorang yang memiliki wilayah
kerja di sektor publik akan memiliki kemuliaan dan kualitas lebih baik dari
seorang ibu yang memiliki wilayah tanggungjawab pada sektor privat. Karena
semua kemuliaan mutlak hanya akan dipetik dari ketaqwaan dan ketaatan pada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga kita
dapat renungkan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS.
An-Nisaa’ ayat 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Ibu, sebagai
seorang ‘manajer’ rumah tangga adalah sebuah entitas terpenting dalam konteks
pembentukan sebuah generasi. Tanpa seorang ibu yang berkualitas takkan lahir
para manusia-manusia berkualitas. Ibulah, madrasah peradaban yang paling awal.
Dari para
ibulah cetak biru sebuah poros peradaban ditentukan. Kesungguhan para ibu
men-tarbiyah keturunannya adalah langkah nyata rekonsiliasi sebuah bangsa. Dan
kerja-kerja macam ini, bahkan para bidadari surga pun belum tentu mampu
melakukannya. Dengan kesungguhan inilah, bahkan para bidadari pun akan
mencemburuinya.
2. Wanita Shalihah: Pesona Di atas
Pesona
Ia mutiara
terindah dunia
Bunga terharum
sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya,
Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata
jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia
menjadi bidadari surga, Terindah dari yang ada
(Hanan)
Ya, bidadari
surga yang Allah segerakan berikutnya adalah wanita shalihah. Konteks tulisan
ini sama sekali bukan tentang fisik. Kita hanya akan membahas hal-hal
substansial yang bernama kesalehan. Untuk itu, cukuplah dialog penuh ‘ibrah
antara Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang didokumentasikan oleh Imam Ath-Thabrani sebagai pecut penyemangat,
pengobar ruh kesalehan.
Ummu Salamah
Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Wahai Rasulullah, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
jelaskanlah kepadaku firman Subhanahu wa Ta’ala tentang bidadari-bidadari yang
bermata jelita.” (QS. Ad-Dukhan:54) Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya
putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”
Aku berkata
lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, “Laksana mutiara yang tersimpan
baik.” (Al-Waqi’ah: 23) Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan
mutiara di kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”
Aku berkata
lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, “Di dalam surga-surga
itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar-Rahman: 70)
Beliau menjawab, “Akhlaqnya baik dan wajahnya cantik jelita.”
Aku berkata
lagi, “Jelaskan kepadaku firman Allah, “Seakan-akan mereka adalah telur (burung
onta) yang tersimpan dengan baik.” (Ash-Shaffat: 49) Beliau menjawab,
“Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan
terlindung kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”
Aku berkata
lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, Penuh cinta lagi
sebaya umurnya” (Al-Waqi’ah: 37) Beliau menjawab, “Mereka adalah wanita-wanita
yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam keadaan rabun dan beruban.
Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka sudah tahu, lalu Dia menjadikan
mereka sebagai wanita-wanita gadis, penuh cinta, bergairah, mengasihi dan
umurnya sebaya.”
Aku bertanya,
“Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang
bermata jeli” Beliau menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada
bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak daripada
apa yang tidak tampak.”
Aku bertanya,
“Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?” Beliau menjawab, “Karena
shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di
wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih,
pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara
dan sisirnya terbuat dari emas.
Mereka berkata,
“Kami hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama
sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami ridha dan
tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki
kami dan kami memilikinya.”
Aku berkata,
“Wahai Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua,
tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun
masuk surga pula.
Siapakah di
antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga? Beliau menjawab,
“Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di
antara mereka yang akhlaqnya paling bagus, lalu dia berkata, “Wahai Rabb-ku,
sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaqnya tatkala hidup bersamaku
di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya”. Wahai Ummu Salamah, akhlaq yang baik
itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”
Keshalihan dan
akhlaq baiklah sumber kemuliaan,
semoga kita dapat meraihnya. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar